Perilaku Mario Dandy di Mata Pengamat Psikologi Sosial UGM

- 2 Maret 2023, 13:54 WIB
Gedung Fakultas Psikologi UGM
Gedung Fakultas Psikologi UGM /KS/UGM

KABAR SLEMAN - Pengamat psikologi sosial UGM, Lu’luatul Chizanah SPsi MA menyampaikan pandangannya terkait perilaku Mario Dandy Satrio, anak pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, yang kerap memamerkan berbagai barang mewah di media sosial.

Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menilai, perilaku Mario ini merupakan tindakan flexing. Tindakan ini sengaja dilakukan untuk  menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang. Flexing ini menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial.

"Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang,” ujarnya seperti dikutip dari laman UGM, Kamis 2 Maret 2023.

Baca Juga: Unggul di Dunia, IndoCeiss-Coris Dorong Peningkatan SDM

Dia menjelaskan, orang yang melakukan flexing di media sosial salah satunya ditujukan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok. Dalam konteks pembentukan relasi atau pertemanan, membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu.  

“Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai saya layak masuk kalangan elite,” katanya.

Menurut Lu'luatul, orang yang menunjukkan perilaku flexing di media sosial mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah. Tanpa disadari orang yang kerap melakukan flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya.

"Flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan," tandasnya.

Baca Juga: Merdeka Belajar Episode 23 Sasar Tingkatkan Kemampuan Literasi Anak

Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, katanya, yang bersangkutan merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya.

Padahal, imbuh Lu'luatul, perilaku flexing bisa menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat terkait kepemilikan material. Sebab, apa yang diunggah oleh pelaku flexing bisa dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material. 

“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,” tuturnya.

Dia menambahkan, perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsif buying. Seseorang akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing. Apabila flexing ditujukan untuk mengatasi self esteem rendah, maka hal tersebut hanya bersifat semu dan tidak berujung sert abersifat adiktif. Flexing justru menghalangi seseorang untuk mengatasi self esteem secara efektif. 

Baca Juga: Setelah Lulus, Ini yang Perlu Dimiliki Wisudawan

“Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik itu tidak masalah. Akan ada masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri,” paparnya.

Lu’luatul menilai, setiap orang memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku flexing. Kemampuan mengelola diri untuk melakukan flexing atau tidak menjadi sangat penting. 

“Flexing untuk menunjukkan pencapaian, sesekali tidak apa. Namun, saat kalau tidak posting menjadi cemas ini harus jadi alarm diri,” ungkapnya.

 

Editor: Afani Sastro

Sumber: ugm.ac.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah