Keraton Yogyakarta Pamerkan Vegetasi Historis dan Filosofis

6 Maret 2023, 10:19 WIB
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X membuka Pameran Narawandira Tingalan Jumenengan di Bangsal Sri Manganti, area Kedhaton Keraton Yogyakarta /Jogjaprov.go.id

KABAR SLEMAN - Keraton Yogyakarta menghadirkan Pameran Narawandira Tingalan Jumenengan di Bangsal Sri Manganti, area Kedhaton Keraton Yogyakarta. Pameran sudah dimulai 5 Maret lalu hingga 29 Agustus 2024 mendatang.

Pameran digelar dalam rangka Mangayubagyo Tingalan Jumenengan Dalem yang memamerkan beragam vegetasi yang memiliki keterkaitan dengan Kraton Yogyakarta. Pengunjung bisa membeli tiket masuk sebesar Rp 15.000 per orang atau diskon 10% bagi rombongan grup minimal 20 orang.

Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, banyak vegetasi yang mencatatkan sejarahnya pada perubahan tata pemerintahan Yogyakarta. Selain padi dan tebu, vegetasi historis dan filosofi seperti asem, tanjung, gayam, beringin, hingga pohon kepel dan belimbing wuluh begitu dekat dengan kosmis Masyarakat Jawa.

Baca Juga: Hujan-hujanan Saat Upacara HKPN, Bukti Sri Sultan Beri Contoh dengan Sikap

Dikatakannya, bentang sumbu filosofi yang menjadi jalan-jalan protokol bagi semua masyarakat seyogyanya perlu dijaga vegetasinya. Keraton Yogyakarta mendorong sekaligus mengambil peran untuk menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat agar menjaga kelestarian lingkungan sekecil mungkin.

“Tidak sekadar melihat pertiwi dan seluruh hasilnya dapat dimanfaatkan terus-menerus, tetapi juga mereproduksinya dengan jalan-jalan pelestarian adiluhung. Vegetasi hari ini tidak sekadar padi, tebu, atau pohon, batang, bunga, daun, dan hutan yang membentang, melainkan berbagai kearifan dari alam yang memeanuhi ruang sakral dan profan dalam waktu yang bersamaan,” ujar Sri Sultan saat membuka pameran, Sabtu malam 04 Maret 2023.

Dia menjelaskan, peringatan 34 tahun dirinya bertahta kali ini bertema Narawandira. Secara harfiah dapat dipahami sebagai manusia dan kontinuitas alam. Budaya Jawa kerap merefleksikan hubungan manusia dengan alam sebagai sebuah kausalitas. Alam menjadi jawaban dari kebutuhan manusia yang "wruh lan wanuh marang pertiwi".

Baca Juga: Mau Wisata ke Jogja? Masih Musim Hujan, Jangan Salah Pilih Destinasi

Di sisi lain, alam sebagai bagian dari makro-kosmos kerap memberi kejutan-nbagi mereka yang acuh, tidak pernah asuh terhadap buminya. Jika ditelaah lebih mendalam, alam dan manusia memiliki hubungan integral yang saling mengikat dan tarik-menarik.

"Pada titik ini, falsafah Hamemayu Hayuning Bawana dari Pangeran Mangkubumi begitu selaras untuk diejawantahkan. Menjaga dan merawat keserasian dunia menjadi tugas yang semestinya diemban oleh manusia seutuhnya, seperti halnya judul pameran Narawandira, manusia yang menjadi agen kontinu,” kata Gubernur DIY ini.

Dalam satu siklus sangkan paran, Sultan menekankan alam memegang peran penting di dalamnya. Tidak sekadar berbicara mengenai upacaranya, tetapi keterlibatan alam dalam setiap upakaranya.

"Kiranya benar bahwa hamemayu hayuning bawana tidak hanya bertumpu pada menjaga alam secara murni, melainkan mengolah sumber daya dari pertiwi sebagai bagian dari kehidupan secara utuh," tuturnya.

Baca Juga: KemenkumHAM DIY Wacanakan Buka Kantor Imigrasi di Bandara YIA

Kedekatan keraton dengan alam sejatinya telah termaktub dalam babad maupun arsip-arsip lokal. Pangeran Mangkubumi dengan prinsip ‘Salumahing bumi lan sakurebing langit kagunganing nata’’ lebih dahulu membuka hutan beringin untuk dijadikan pusat pemerintahan baru dari Mataram di Yogyakarta.

Kawasan hutan beringin pun diubah menjadi lahan-lahan pertanian, perkebunan, hingga taman dan pesanggrahan untuk memenuhi ruang hidup seey pemerintahan. Masing-masing kawasan kemudian berkembang ada pesat hingga Yogyakarta menjadi daerah yang kaya akan sumber daya alam agraris.

“Pameran yang bertepatan dengan Perayaan Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini menandai keterbukaan Keraton, agar khususnya bisa mencapai sasaran pengunjung generasi digital yang dituju. Silakan hadir, seraya merefleksi sejarah budaya dan tradisi lama, yang semoga pengalaman yang tak terlupakan ini dapat menjadi pelajaran kita bersama,” jelasnya.

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya GKR Bendara yang juga Ketua Pelaksana mengutarakan, lebih dari 10 dekade setelah peradaban hutan beringan dibangun Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta menjelma menjadi kota kerajaan yang subur Tanah agraris.

Baca Juga: Kota Jogja Potensial Pengembangan Industri Kreatif, Pj Wali Kota: Yang Menarik Munculnya Bisnis Anak Muda

"Kedekatan keraton dengan alam pun secara kontekstual dimanifestasikan dalam falsafah Hamemayu Hayuning Bawana," ucapnya.

Kontinuitas dari kraton dan alam selanjutnya, lanjut GKR Bendara, mewujud pada pemanfaatan vegetasi tepat guna dalam berbagai kepentingan, baik sakral maupun profan. Pameran ini menjadi potret dari keberlangsungan keraton dalam menjaga alam dan merawat kontinuitas dari narasi historis Yogyakarta sebagai kota peradaban di antara bentang alam Merapi dan Laut Selatan.

“Maka, kami melalui Kawedanan Radya Kartiyasa menggelar pameran Narawandira. Nara berarti manusia, wandira berarti beringin. Beringin sering menjadi representasi dari seorang pemimpin, sebab memiliki keistimewaan yaitu kuat dan kokoh, mudah beradaptasi, menjadi pengayom dan penopang, dapat memberi manfaat dan terus bertumbuh. Kami ingin memberi potret dari peran manusia sebagai tokoh utama dalam pelestarian alam,” paparnya.***

Editor: Afani Sastro

Sumber: jogjaprov.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler