Perilaku Mario Dandy di Mata Pengamat Psikologi Sosial UGM

- 2 Maret 2023, 13:54 WIB
Gedung Fakultas Psikologi UGM
Gedung Fakultas Psikologi UGM /KS/UGM

Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, katanya, yang bersangkutan merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya.

Padahal, imbuh Lu'luatul, perilaku flexing bisa menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat terkait kepemilikan material. Sebab, apa yang diunggah oleh pelaku flexing bisa dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material. 

“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,” tuturnya.

Dia menambahkan, perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsif buying. Seseorang akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing. Apabila flexing ditujukan untuk mengatasi self esteem rendah, maka hal tersebut hanya bersifat semu dan tidak berujung sert abersifat adiktif. Flexing justru menghalangi seseorang untuk mengatasi self esteem secara efektif. 

Baca Juga: Setelah Lulus, Ini yang Perlu Dimiliki Wisudawan

“Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik itu tidak masalah. Akan ada masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri,” paparnya.

Lu’luatul menilai, setiap orang memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku flexing. Kemampuan mengelola diri untuk melakukan flexing atau tidak menjadi sangat penting. 

“Flexing untuk menunjukkan pencapaian, sesekali tidak apa. Namun, saat kalau tidak posting menjadi cemas ini harus jadi alarm diri,” ungkapnya.

 

Halaman:

Editor: Afani Sastro

Sumber: ugm.ac.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah