Kajian Islami: Antara Hari Raya Nyepi dan Puasa Ramadan

- 27 Maret 2023, 05:00 WIB
Antara Hari Raya Nyepi dan Puasa Ramadan.
Antara Hari Raya Nyepi dan Puasa Ramadan. /Boim/KS

Namun demikian, karena Puasa Ramadan wajib dijalankan umat Islam sebulan penuh, tentu ibadah itu juga harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas duniawi. Berpuasa dalam kondisi tetap bekerja untuk memenuhi hajat hidup primer, sekunder, maupun tersier.  Berpuasa di pasar, di mal, di pabrik, di kantor dsb.

Maka dalam kondisi keramaian seperti ini, berpuasa dan i'tikaf berarti menyepikan batiniah untuk tetap terlindung dari keinginan diri (nafsu) yang cenderung mengajak pada kenikmatan materi dan duniawi. Batiniah tetap sunyi dari desiran energi negatif, dan selebihnya dipenuhi dengan keindahan bersama Yang Maha Suci .

“Sepi dalam keramaian” dalam Islam merupakan salah satu ajaran Thariqah Naqsyabandiyah. Sepi dalam keramaian berarti mengheningkan diri atau jiwa dalam hiruk pikuk dunia. Dengan kata lain, saat kita berada di tengah keramaian, pikiran kita tidak ikut terbawa ke sana.

Lantas, apa yang mengisi jiwa saat berada dalam kondisi sepi di sekeliling keramaian? Tidak lain adalah dzikir kepada Allah. Ya, saat hati seseorang dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada Allah, dalam apapun kondisinya, baik ramai maupun sepi, dia akan senantiasa mengingat Allah.

Inilah yang disebut cinta kepada Allah. Puasa adalah dzikir kepada Allah dalam bentuk yang rahasia (sirr). Karena puasa adalah dzikir yang rahasia, penyepian, dan pendisiplinan diri, maka sebaiknya jangan dibarengi dengan aktivitas lahiriah yang justru menjauhkan kita dari nilai-nilai puasa itu seperti perilaku hedonis, konsumtif, relaksasi berlebihan, jalan-jalan yang sekedar hanya mencari kesenangan sesaat, tidak punya faedah, bahkan pemborosan.

Adapun “ramai dalam sepi” berarti jiwa, raga, maupun pikiran terus tersibukkan dengan segala hal yang bermanfaat ketika kita tengah sendiri. Meski tidak ada seorang pun yang menemani, kita tidak pernah merasa sendiri.

Jiwa dan pikiran terasa ramai karena mengingat Allah. Sedangkan tubuh, ramai karena beramal. Tidak ada hal apapun di dunia ini yang membuat diri kita diliputi kegalauan karena kesendirian.

Selanjutnya, puasa Ramadan bagi umat Islam dapat dipahami melalui konsep Malamatiyah. Kata ini bisa ditemukan di dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang mengisahkan perjalanan hidup sayyidul awliya tersebut.

Secara sederhana, malamatiyah bisa dimaknai tidak memperlihatkan perbuatan baik di depan orang lain dan tidak menunjukkan keburukan diri sendiri. Artinya, amal perbuatan memang semata-mata dilakukan karena Allah, tidak peduli pada pujian dan cercaan manusia.

Di tengah hiruk pikuk dunia ekonomi, politik, hukum, premanisme, hedonisme, keangkuhan, sadisme dll di masyarakat kita, Puasa Ramadan perlu ditingkatkan fungsinya sebagai sarana penyepian, penyucian, pengendalian, dan pembangkitan moralitas bangsa. Para pejabat negara/pemerintah, para orang kaya, para tokoh agama, para tokoh masyarakat harus dapat berperan menjadi teladan.***

Halaman:

Editor: Boim Rosadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x