Kajian Islami: Antara Hari Raya Nyepi dan Puasa Ramadan

- 27 Maret 2023, 05:00 WIB
Antara Hari Raya Nyepi dan Puasa Ramadan.
Antara Hari Raya Nyepi dan Puasa Ramadan. /Boim/KS

Oleh: Abdurrosyid Ahmad, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Sekolah Alam dan Kemanusiaan Terbuka Kota Magelang

ISTIMEWA bangsa Indonesia, umat Hindu Indonesia baru saja melalui Hari Suci Nyepi, melakukan meditasi, meninggalkan aktivitas duniawi dalam keheningan.

Salah satu tujuan dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah untuk menemukan jati diri demi mendapatkan keseimbangan diri dan alam semesta.

Hari Raya tetapi dirayakan dalam Nyepi, istimewa. Semoga umat Hindu di Indonesia dan di manapun terus memberikan keseimbangan terhadap alam semesta.

Sebagai bagian dari warga bangsa yang menghormati agama dan menghargai tradisi agama, kita ikut prihatin dengan adanya insiden sekelompok warga di Bali yang mencederai Hari Suci Nyepi dengan kegiatan duniawi bahkan mengganggu ketenteraman dan ketertiban.

Kita mendukung aparat keamanan mengambil langkah-langkah cepat dan terukur untuk mengendalikan situasi. Demikian juga peran tokoh kerukunan umat beragama yang dapat memberikan pengertian kepada umat dan masyarakat sehingga tidak terjadi konflik antar umat beragama.

Mencermati kasus ini, saya berpendapat bahwa saudara-saudara umat Hindu berhasil meraih makna dalam merayakan Hari Nyepi.

Sehari berikutnya, 23 Maret yang lalu Umat Islam di Indonesia bersama umat Islam di dunia mengawali ritual wajib, yaitu Puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Puasa dalam arti kata maupun istilah substansinya adalah pengekangan nafsu duniawi dalam rangka penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri menjadi hambaNya yang bertakwa.

Ditulis dalam buku-buku sejarah Islam, Muhammad SAW sejak sebelum diangkat menjadi Rasul/Nabi hingga beberapa tahun sesudahnya ketika masih di Makkah, beliau memasuki bulan Ramadhan dan berpuasa dengan berkhalwat, yaitu menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, di Gua Hira.

Kemudian, setelah beliau bersama umat Islam pengikutnya dapat beribadah dengan aman di masjid, Khalwat Ramadan dilakukan di masjid dengan cara i'tikaf.

Namun demikian, karena Puasa Ramadan wajib dijalankan umat Islam sebulan penuh, tentu ibadah itu juga harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas duniawi. Berpuasa dalam kondisi tetap bekerja untuk memenuhi hajat hidup primer, sekunder, maupun tersier.  Berpuasa di pasar, di mal, di pabrik, di kantor dsb.

Maka dalam kondisi keramaian seperti ini, berpuasa dan i'tikaf berarti menyepikan batiniah untuk tetap terlindung dari keinginan diri (nafsu) yang cenderung mengajak pada kenikmatan materi dan duniawi. Batiniah tetap sunyi dari desiran energi negatif, dan selebihnya dipenuhi dengan keindahan bersama Yang Maha Suci .

“Sepi dalam keramaian” dalam Islam merupakan salah satu ajaran Thariqah Naqsyabandiyah. Sepi dalam keramaian berarti mengheningkan diri atau jiwa dalam hiruk pikuk dunia. Dengan kata lain, saat kita berada di tengah keramaian, pikiran kita tidak ikut terbawa ke sana.

Lantas, apa yang mengisi jiwa saat berada dalam kondisi sepi di sekeliling keramaian? Tidak lain adalah dzikir kepada Allah. Ya, saat hati seseorang dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada Allah, dalam apapun kondisinya, baik ramai maupun sepi, dia akan senantiasa mengingat Allah.

Inilah yang disebut cinta kepada Allah. Puasa adalah dzikir kepada Allah dalam bentuk yang rahasia (sirr). Karena puasa adalah dzikir yang rahasia, penyepian, dan pendisiplinan diri, maka sebaiknya jangan dibarengi dengan aktivitas lahiriah yang justru menjauhkan kita dari nilai-nilai puasa itu seperti perilaku hedonis, konsumtif, relaksasi berlebihan, jalan-jalan yang sekedar hanya mencari kesenangan sesaat, tidak punya faedah, bahkan pemborosan.

Adapun “ramai dalam sepi” berarti jiwa, raga, maupun pikiran terus tersibukkan dengan segala hal yang bermanfaat ketika kita tengah sendiri. Meski tidak ada seorang pun yang menemani, kita tidak pernah merasa sendiri.

Jiwa dan pikiran terasa ramai karena mengingat Allah. Sedangkan tubuh, ramai karena beramal. Tidak ada hal apapun di dunia ini yang membuat diri kita diliputi kegalauan karena kesendirian.

Selanjutnya, puasa Ramadan bagi umat Islam dapat dipahami melalui konsep Malamatiyah. Kata ini bisa ditemukan di dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang mengisahkan perjalanan hidup sayyidul awliya tersebut.

Secara sederhana, malamatiyah bisa dimaknai tidak memperlihatkan perbuatan baik di depan orang lain dan tidak menunjukkan keburukan diri sendiri. Artinya, amal perbuatan memang semata-mata dilakukan karena Allah, tidak peduli pada pujian dan cercaan manusia.

Di tengah hiruk pikuk dunia ekonomi, politik, hukum, premanisme, hedonisme, keangkuhan, sadisme dll di masyarakat kita, Puasa Ramadan perlu ditingkatkan fungsinya sebagai sarana penyepian, penyucian, pengendalian, dan pembangkitan moralitas bangsa. Para pejabat negara/pemerintah, para orang kaya, para tokoh agama, para tokoh masyarakat harus dapat berperan menjadi teladan.***

 

 

Editor: Boim Rosadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x